Konsinyasi

Moy & d'Banx adalah nama yang dipilih oleh penulis sebagai merek dagang dari suatu kumpulan pengalaman pembelajaran dalam mengkaji cara-cara pencatatan akuntansi yang dilakukan oleh penulis. Aktivitas ini pertama kali dilakukan dan mendapatkan pengalamannya pada taun 2009an, ketika penulis menjalankan usaha produksi makanan ringan, dan menjual hasil produksi makanan ringan home_industry tersebut secara sistem pembayaran konsinyasi ke outlet-outlet yang menjadi mitra dalam penyalurannya, baik dalam hal displey, stok yang dititipkan,  maupun transaksinya. Adapun pada taun 2018 ini, penulis mencoba merintisnya kembali, meskipun bukan dalam posisi sebagai produsen langsung, namun lebih kepada posisi keagenan.

Pengalaman dalam perlakuan stok dalam hal sistem bayar secara konsinyasi, ternyata memiliki perbedaan yang signifikan dengan sistem pencatatan stok dan piutang dalam perdagangan bersistem bayar time_of_payment <TOP>, yang'mana memperlakukan cara bayar: laku maupun ta'laku, pembeli tetap harus tetap membayar. Perbandingan mengenai sistem TOP ini, penulis dapatkan ketika bekerja di suatu perusahaan keagenan/distribusi bahan'bahan bangunan yang dimulai pada taun 2006 - 2007, 2008 - 2009, dan 2010. Penulis menemukan adanya cara pencatatan akuntansi yang seharusnya diperlakukan secara berbeda di antara kedua sistem termaksud (konsinyasi dan time_of_payment). Adanya perbedaan perlakuan pencatatan pembukuan keuangan, tentunya berpengaruh terhadap perhitungan total aktiva dan total pasiva usaha yang bersangkutan, sehingga tida dapat disamaratakan antara cara pencatatan penjualan bersistem bayar secara TOP dengan cara pencatatan penjualan bersistem bayar secara konsinyasi. Umumnya, pencatatan penjualan bersistem bayar secara TOP akan lebih mudah daripada pencatatan bersistem bayar secara konsinyasi. Dengan demikian, penulis akan berfokus kepada kajian rumusan'rumusan (formulasi) pencatatan bersistem bayar secara konsinyasi, sesuai dengan fenomena yang pernah dan lagi penulis alami, yang'mana sistem bayar secara TOP diposisikan sebagai pembanding, untuk mengetaui perbedaan perlakuannya agar dapat menyikapinya dalam proses pengambilan kebijakan usaha pada masa kini dan masa mendatang.


Alur Pencatatan Akuntansi dalam Penjualan Bersistem Time of Payment.
 
Secara sederhana, sistem pencatatan penjualan secara TOP akan mencatat kuantitas stok yang terjual sebagai penjualan, meskipun secara kenyataannya penjual belum menerima pembayaran tunai dengan alat tukar yang dianggap sah (uang), yang'mana karenanya nilai uang sesuai kuantiti yang dianggap telah terjual tersebut dicatatkan sebagai nilai penjualan pada Laporan Laba Rugi. Pencatatan nilai stok yang telah di'order dan dikirim kepada pembeli ini ke dalam Pos_Penjualan, sebenarnya tidak bermasalah, sejauh pihak pembeli dapat memberikan keyakinan kepada pihak penjual mengenai sejumlah nilai barang (harga beli dikalikan kuantitas stok yang dibeli) yang disepakati dan disanggupinya, biasanya dengan menyerahkan sejumlah panjar (uang pembayaran awal, yang dikenal dengan istilah uang_muka, atau down payment), maupun alat bayar tunda yang disepakati keabsahannya, seperti Bilyet Giro. Beberapa transaksi bersistem TOP pada perusahaan'perusahaan tertentu, menggunakan giro dalam pemberian kepercayaan terhadap nilai Pos_Piutang pihak penjual atas Pos_Hutang_Dagang pihak pembeli yang terbentuk oleh sebab kesepakatan dan kesanggupan dalam transaksi bersistem TOP. Karena sejumlah stok dianggap telah terjual kepada pihak pembeli, maka dalam Neraca pihak penjual; Pos_Stok atau Pos_Persediaan barang dikurangi sejumlah kuantiti yang dianggap telah terjual itu, yang diiringi dengan penambahan nilai pada pos_piutang (tagihan) sejumlah kuantiti yang berkurang tadi dikalikan dengan harga satuan yang telah disepakati setelah dikurangi sejumlah nilai down_payment (jika ada). Begitulah alur pencatatan sederhana dari penjualan dalam siklus pos_persediaan dan pos_piutang dalam neraca, yang diketaui oleh penulis.


Alur Pencatatan Akuntansi dalam Penjualan Bersistem Konsinyasi.
 
Adapun dalam sistem konsinyasi, penulis menemukan kenyataan bahwa pos penjualan belum dapat diinput dengan sejumlah nilai tertentu, sehubungan sejumlah kuantiti yang telah disepakati dikirimkan kepada pihak pembali untuk di'displey di autletnya, belum sah sesuai akad konsinyasi sebagai suatu transaksi penjualan, namun dapat dianggap sebagai transaksi pengiriman atas pengalihan stok (dari stok pelaku keaganen kepada pelaku ritel). Anggapan mengenai belum sahnya transaksi dalam tahap sistem konsinyasi seperti ini, akan menjadi suatu keabsahan untuk dicatat sebagai nilai pada Pos_Penjualan dalam Laporan_Laba_Rugi pihak penjual ketika pihak pembeli ritel telah berhasil menjual'kembali sejumlah keseluruhan maupun sebagian dari kuantiti persediaan yang telah dikirim oleh pihak keagenan <penjual pada 1level distribusi di atasnya>. Sejumlah kuantiti dikalikan dengan harga setoran yang telah disepekati inilah yang kemudian dianggap sah sebagai tagihan yang harus dibayar kepada keagenan <penjual> pada saat terjadinya transaksi antara pihak pembeli pada level ritel ini dengan pihak'pihak pembelinya, ataupun pada saat kunjungan pengisian stok pada waktu selanjutnya yang biasanya telah terjadwal secara rutin, ataupun sesuai dengan kesepakatan di antara mereka. Artinya, sebanyak apapun jumlah stok yang telah dikirim kepada pembeli, selama pembeli belum berhasil menjual'kembali kepada pihak lain, maka belum dapat divatatkan sebagai isi dari Pos_Piutang bagi neraca pihak penjual, maupun sebagai isi dari Pos_Hutang_Dagang bagi neraca pihak pembeli. Mengenai hal ini, kesalahan proyeksi sering dialami oleh penulis manakala mencatatkan jumlah stok yang dikirim dan didisplaykan di autlet'autlet langganan penulis, lalu dikalikan dengan harga satuan yang telah disepakati sebagai  Pos_Piutang bagi penulis, padahal pihak'pihak pembeli (outlet-outlet) belum berhasil menjualnya sama'sekali sehubungan barang baru saja diterimanya. Hal inilah yang menjadi latar belakang kepenasaran penulis untuk mengkaji bagaimana cara pencatatan yang tercocok dalam hal perlakuan akuntansi untuk perdagangan bersistem bayar konsinyasi.


Konsekuensi Biaya dalam Perdagangan Bersistem Konsinyasi.

Pengembangan dari penelaahan cara bayar konsinyasi, mau ta'mau akan melibatkan sinergitas yang lebih dinamis antar pos-pos dalam neraca dibandingkan dengan sistem TOP. Pencatatan stok, misalnya. Sejumlah stok yang telah dikirim kepada pembeli, ternyata perlu diperlakukan dengan asumsi bahwa sejumlah stok tersebut adalah masih menjadi milik pihak penjual, belum beralih kepemilikannya sebagai milik pihak pembeli, sehubungan akad konsinyasi tadi. Dengan demikian, pada pihak pembeli'pun sama, yaitu memperlakukan stok ataupun displey yang diterimanya dari pihak penjual tadi sebagai sejumlah titipan yang belum mempunyai isi Pos_HPP <Harga Poko Penjualan>, sebab HPP bagi pihak'pembeli baru dapat dicatatkan ketika telah terjadi penjualan kepada pihak lainnya, sehingga sifatnya harus sporadis <bersamaan> antara terjadinya penjualan dengan terjadinya sejumlah nilai dalam Pos_Hutang-Dagang yang dikonversikan dari sejumlah HPP termaksud. Selama belum terjadi transaksi penjualan kepada pihak lain, maka status komoditi barang tetap sebagai Pos_Barang_Titipan dalam Pos_Persediaan.

Beberapa variasi konsekuensi dari perdagangan bersistem bayar konsinyasi ini, secara biaya, mungkin akan lebih banyak dikeluarkan oleh pihak penjual <keagenan> daripada oleh pihak pembeli <outlet>, terutama pada tahap-tahap awal ekspansi, sebelum tahap penetrasi produk. HPP tida akan diperlakukan sebagai pembiayaan dua'kali, sehubungan biasanya ada kesepakatan untuk dilakukannya return terhadap sejumlah satuan persediaan yang tida laku dan hendak ditukar dengan sejumlah satuan persediaan baru, yang'mana nilai potensi penjualannya secara keseluruhan adalah tetap <maka demikian pula nilai HPPnya>, namun untuk menarik kembali barang returan termaksud tentu saja memerlukan sejumlah Pos_Biaya_Operasional yang biasanya dikeluarkan oleh pihak penjual <keagenan>, dan demikian pula untuk mengirim sejumlah kuantiti barang baru yang menjadi peretur dari barang yang diretur termaksud. Ini menjadi resiko bagi pihak keagenan sebagai konsekuensi dari perdagangan bersistem konsinyasi. Kadangkala, selain menanggung potensi terbentuknya sejumlah isi dalam Pos_Biaya_Operasional, pihak penjual'pun harus mempersiapkan diri untuk menanggung potensi terbentuknya sejumlah isi dalam Pos_Biaya_Susut akibat peningkatan frekuensi mobilitas armada yang dipergunakan untuk pengiriman produk, apapun jenis kendaraannya. Dalam neraca, terbentuknya Pos_Biaya_Susut dalam satu periodeu akan membentuk Pos_Akumulasi_Biaya_Penyusutan yang'mana pos ini akan menjadi pos pengurang terhadap nilai Pos_Kendaraan dalam Neraca pada Grup Aktiva_Tetap.


Pemikiran Solusi Biaya.

Penulis berpikir, bahwa apapun peluang terbentuknya pos biaya'biaya dalam usaha perdagangan bersistem konsinyasi, adalah dapat dikaji dan dipersiapkan sedari awal penganggarannya, yang'mana jika pengelolaannya dilakukan secara bijaksana: akan dapat membuat usaha perdagangan bersistem konsinyasi ini tida'kalah dalam stabilitas usaha dibandingkan dengan perdagangan bersistem TOP. Artinya, penganggaran biaya operasional dan biaya susut memerlukan suatu perhitungan <formulasi> yang dapat disesuaikan dengan kondisi penjualan dalam suatu periodeu berjalannya usaha. Pengalokasian sejumlah yunit dalam kuantiti yang dikirim, serta rasionalisasinya dengan nilai penjualan dan HPP dalam setiap Hari_Kerja Operasional usaha adalah perlu dilakukan, sekalipun level usaha masih berskala sangat kecil.


____
Oleh: Yusni Tria Yunda.

Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Sabtu, 21-07/2018.

Comments